
Bullying bukan sekadar candaan yang “keterlaluan”. Bullying adalah tindakan serius yang bisa menyakiti seseorang secara fisik dan mental. Meski terkadang tidak terlihat luka di tubuhnya, korban bullying bisa mengalami luka batin yang lebih dalam dan lebih lama sembuhnya. Luka ini seringkali tersembunyi di balik senyum palsu atau sikap diam. Bagi korban, pengalaman dibully bisa memicu berbagai perasaan negatif. Banyak dari mereka merasa sedih, tertekan, dan cemas setiap kali harus datang ke sekolah. Bayangkan jika setiap hari kamu masuk kelas dengan perasaan takut—takut diejek, takut dikucilkan, atau bahkan takut dipukul. Hidup seperti itu sangat melelahkan, bukan?
Tak hanya itu, bullying juga bisa menghancurkan rasa percaya diri seseorang. Kata-kata ejekan atau perlakuan kasar yang diterima terus-menerus bisa membuat korban merasa dirinya tidak berharga. Mereka mulai meragukan kemampuan dan keunikan diri sendiri. Bahkan hal-hal yang dulu mereka sukai bisa tiba-tiba terasa tidak berarti. Lebih parahnya lagi, bullying bisa membuat seseorang memilih untuk menyendiri dan menjauh dari lingkungan sosial. Mereka takut membuka diri, merasa tidak ada yang bisa dipercaya, dan merasa lebih aman sendirian. Dalam beberapa kasus ekstrem, korban bisa mengalami depresi atau berpikir untuk menyakiti diri sendiri karena merasa tidak kuat lagi menanggung semuanya.
Dampak bullying tidak hanya dirasakan oleh korban saja. Lingkungan sekolah pun ikut terpengaruh. Ketika bullying dibiarkan terjadi, suasana sekolah menjadi tidak nyaman. Siswa menjadi takut berpendapat, takut menunjukkan jati diri, dan akhirnya hanya “menyamar” agar tidak menjadi target selanjutnya. Hubungan antar teman juga bisa rusak. Siswa mulai saling curiga, takut satu sama lain, dan enggan untuk saling membantu. Kepercayaan yang seharusnya tumbuh dalam pertemanan justru tergantikan oleh ketakutan dan jarak emosional. Tidak jarang, bullying juga berdampak pada prestasi belajar siswa. Korban sulit fokus di kelas karena pikirannya dipenuhi oleh rasa takut dan kecemasan. Bahkan siswa yang hanya menjadi saksi bullying pun bisa merasa tertekan dan kehilangan semangat belajar karena suasana kelas yang tidak kondusif.
Sebagai contoh nyata, di tahun 2022, seorang siswi SMP di Yogyakarta mengalami tekanan hebat setelah dibully oleh teman-temannya karena penampilan fisik. Ia sering dipanggil dengan julukan kasar dan fotonya diedit lalu disebar di grup WhatsApp kelas. Akibatnya, ia mengalami trauma berat dan tidak mau masuk sekolah selama berminggu-minggu. Kasus lain terjadi di Bandung, seorang siswa SMA menjadi korban bullying karena prestasinya yang menonjol. Ia sering dijadikan bahan ejekan, bahkan sepatu dan tasnya sering disembunyikan. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah karena merasa tidak nyaman dan tak didukung oleh teman-temannya maupun pihak sekolah.
Bahkan di luar negeri, kasus bullying bisa menjadi sangat tragis. Amanda Todd, seorang remaja di Kanada, menjadi korban cyberbullying setelah foto pribadinya disebarluaskan secara online. Ia sempat membuat video berisi kisahnya tanpa berkata-kata, hanya menggunakan tulisan di kertas. Tak lama setelah video itu viral, Amanda mengakhiri hidupnya sendiri karena tidak tahan dengan tekanan mental yang dialaminya. Kisah-kisah seperti ini menunjukkan bahwa bullying bukan hanya sekadar masalah sepele. Setiap ejekan, hinaan, dan perlakuan tidak menyenangkan bisa menjadi awal dari kehancuran mental seseorang. Jangan pernah anggap enteng perasaan orang lain. Mungkin yang bagi kita hanyalah “lelucon,” bisa menjadi luka seumur hidup bagi orang lain. Melalui sesi ini, kamu diajak untuk menumbuhkan empati terhadap sesama dan memahami bahwa bullying tidak pernah bisa dianggap remeh. Setiap tindakan kita bisa berdampak besar bagi orang lain. Yuk, kita ciptakan sekolah yang aman, nyaman, dan penuh dukungan, tempat di mana semua orang bisa tumbuh dan berkembang tanpa rasa takut.

Beri Komentar